KATA PENGANTAR
بسم اللّه
الرّحمن الرّحيم
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah “Masaailul Fiqhiyah 1 berkaitan dengan Bank ASI dan Bank
Sperma” ini tepat pada waktu yang telah
ditentukan yang akan digunakan untuk memenuhi salah satu tugas
terstruktur mata
kuliah Masaailul Fiqhiyah 1 yang diampu oleh dosen Saepul Milah,
S.Pd.I, M.Pd.I.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya dan membacanya.
Namun
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, segala kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk masa yang akan datang.
Ciamis,
November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Air
Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya
telah berjalan secara alami dalam tubuh ibu. Sebelum anak lahir, makanannya
telah dipersiapkan lebih dahulu. Begitu anak itu lahir, ASI telah dapat
dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Menggunakan
makanan lain seperti susu dan tepung yang khusus untuk bayi, sebenarnya tidak
dilarang, tetapi sebagai makanan tambahan saja. Dalam topik ini, titik beratnya
adalah ASI sebagai makanan pokok bayi. Karena begitu pentingnya ASI tersebut,
maka orang mungkin mendapatkannya dari Bank ASI, sekiranya ASI itu tidak
memadai atau karena bayi itu berpisah tempat dengan ibunya.
Salah
satu tujuan perkawinan yaitu diantaranya untuk melanjutkan keturunan dan
menenteramkan jiwa. Keturunan tidak diperoleh karena adakalanya si suami mandul
(tidak subur) ataupun sebaliknya, sedangkan suami istri menginginkan anak.
Demikian juga halnya suatu keluarganya tidak merasa tenang dan tenteram,
apabila dalam keluarganya tidak ada anak sebagai penghibur hati. Ada orang yang
berupaya untuk mendapatkan anak, dengan jalan mengangkat atau memungut anak dan
adakalanya dengan jalan menerima sperma dari donor yang telah tersimpan pada
Bank Sperma[1].
Maka
daripada itu dalam makalah ini, akan dibahas dua masalah yaitu mengenai Bank
ASI dan Bank Sperma.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut :
a.
Apa
definisi bank ASI dan bank sperma ?
b.
Bagaimana
hukum bank ASI dan bank sperma ?
c.
Bagaimana
dampak adanya bank ASI dan bank sperma ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisannya sebagai berikut :
a.
Untuk
mengetahui definisi bank ASI dan bank
sperma.
b.
Untuk
mengetahui hukum bank ASI dan bank
sperma.
c.
Untuk
mengetahui dampak adanya bank ASI dan
bank sperma.
D. Metode
Penulisan
Adapun metode penulisannya sebagai berikut :
a. Membaca Buku
b. Searching
Internet
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Bank ASI dan Bank Sperma
a.
Bank ASI
Bank ASI merupakan
tempat penyimpanan dan penyaluran ASI dari donor ASI yang kemudian akan
diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu
yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI
biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es
agar tidak tercemar oleh bakteri. [2]
Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya
menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di
saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui
stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.
Semua ibu donor
diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu
non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan
memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif
untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2. Juga tidak memiliki
riwayat penyakit TBC
aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau
riwayat kanker.
b.
Bank Sperma
Bank Sperma
adalah pengambilan sperma dari donor sperma lalu dibekukan dan disimpan ke
dalam larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma. Dalam bahasa
medis disebut juga Cryiobanking yaitu suatu teknik penyimpanan sel Cryopreserved
untuk digunakan di kemudian hari. Pada dasarnya, semua sel dalam tubuh manusia
dapat disimpan dengan menggunakan teknik dan alat tertentu sehingga dapat
bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu.[3]
Bank sperma didirikan untuk memenuhi
keperluan orang yang menginginkan anak, tetapi dengan berbagai sebab, seperti
sperma suami tidak mungkin dibuahkan dengan sel telur (ovum) si istri. Dengan
demikain atas kesepakatan suami istri, dicarikan donor sperma.[4]
Dengan melajunya IPTEK, maka
dikenallah inseminasi buatan donor yang pertama oleh Pancoast (Philadelphia,
1984). Ilmuwan ini telah melakukan inseminasi buatan seorang ibu dengan sperma
salah seorang muridnya yang paling rupawan. Inseminasi buatan donor ini telah
banyak dilakukan, bukan saja untuk mengatasi permasalahan keinginan untuk
mempunyai anak pada pasangan suami isteri yang mandul, namun telah dilakukan
pula inseminasi buatan donor dengna sperma-sperma atau sel telur orang lain
yang lebih jenius (seperti Einstein), cantik (Diana Rose), tampan (Juhn
Travolta) dan lain sebagainya.
Untuk itu, maka IPTEK membuka pula
kemungkinan untuk ‘menyimpan’ sperma-sperma orang-orang seperti yang disebutkan
di atas, sehingga membuka pula kemungkinan untuk pasangan suami isteri
memperoleh keturunan/anak dengan ciri-ciri yang diinginkannya. Bank sperma kini
memungkinkan untuk menyimpan sperma manusia dalam keadaan tetap subur sampai
lebih dari 10 tahun, bahkan mungkin pada tahun-tahun berikutnya sperma akan dapat
disimpan untuk selama-lamanya sesuai dengan perkembangan IPTEK. [5] Wallahu‘alam.
B. Hukum Bank
ASI dan Bank Sperma
a.
Bank ASI
Pendapat yang
membolehkan
Ulama besar
seperti Dr. Yusuf Al-Qardawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya
semacam Bank ASI, asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang
kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi. Tidak diragukan
lagi bahwa tujuan dibangunnya Bank ASI adalah baik dan mulia dan tentu saja
didukung oleh Islam yang mengajak untuk membantu setiap orang yang lemah,
apapun sebab kelemahannya, terutama apabila ada anak yang dilahirkan premature
yang tidak memiliki daya dan kekuatan apaun sebagaimana bayi yang lahir normal.
Beliau juga mengatakan bahwa
para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan
anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi
manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekedar
menyumbangkannya. Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi
melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang
diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardawi memandang
bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan ASI itu yang
mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau
anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh
pahala.[6]
Selain Al-Qaradawi, yang menghalalkan bank ASI
adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi - ulama besar Al-Azhar Mesir.
Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu
harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua
orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada
saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan
kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.[7]
Pendapat yang
mengharamkan
Menurut
mayoritas fuqaha’ di antaranya imam yang tiga; Abu Hanifah, Maliki, dan
Syafi’I, mereka memaknai menyusui yang berdampak pada hukum pengharaman adalah
setiap yang masuk kedalam perut bayi melalui tenggorokan dan lainnya, seperti
memasukkannya melalui hidungnya.[8]
Selain itu, di antara ulama kontemporer
yang tidak membenarkan adanya bank ASI adalah Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga
Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah, beliau
menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi
syariah.
Demikian juga dengan Majma’
Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada
tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406. Lembaga ini dalam
keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank ASI di seluruh negara
Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.[9]
Perdebatan dari
segi dalil
Ternyata
perbedaan pendapat dari dua kelompok ulama ini terjadi diseputar syarat dari
penyusuan yang mengakibatkan kemahraman. Setidaknya ada dua syarat penyusuan
yang diperdebatkan.
1)
Haruskah Lewat Menghisap
Puting Susu?
Kalangan yang membolehkan mengatakan
bahwa bayi yang diberi minum ASI dari bank ASI, tidak akan menjadi mahram bagi
para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum
air susu, tidak terjadi penyusuan, karena harus lewat penghisapan puting susu
ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu
Hazm, beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap
puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya. Dalam
fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita
dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya,
atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke
dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian
itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman. [10] Dalilnya
adalah firman Allah SWT: “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara
perempuanmu sepersusuan…‘ (QS An-Nisa’:23)
Menurut Ibnu
Hazim, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi
sebagai syarat dari penyusuan.
Sementara itu,
bagi mereka yang mengharamkan Bank ASI, tidak ada kriteria menyusu harus dengan
proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah
meminumnya, bukan cara meminumnya. Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah
kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi
merasa kenyang.
“Dari Aisyah
ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikan saudara laki-laki kalian,
karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu”. (HR
Bukhari dan Muslim).
2)
Haruskah Ada Saksi?
Sebagian ulama
mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka
harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama
lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang
menyusui saja.
Bagi kalangan
yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan
itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan
dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas
penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman
antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga tidak perlu ada
yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi
menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu
malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu
yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak
mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya,
maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama
lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah
wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu
dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang
menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam
tingkat yang sangat luas. Agar tidak terjadi
kekacauan, maka para ulama lainnya memfatwakan bahwa Bank ASI menjadi haram
hukumnya.
Sehingga masalah ini tetap menjadi titik
perbedaan pendapat dari dua kalangan yang berbeda pandangan. Wajar terjadi
perbedaan ini, karena ketiadaan nash yang secara langsung membolehkan atau
mengharamkan bank susu. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum penyusuan,
sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Dan karena berbeda dalam menetapkan
syarat itulah makanya para ulama berbeda dalam menetapkan hukumnya.[11]
b.
Bank Sperma
Sebagaimana
diketahui, bahwa donor sperma tetap dirahasiakan dan tidak boleh diberitahukan
kepada resipien (penerima). Hal ini berarti, bahwa donor sperma tetap kabur
sehingga anak hasil inseminasi yang diperoleh dari Bank Sperma lebih kabur
statusnya dari anak zina. Sebab, sejelek-jelek anak zina masih mungkin
diketahui bapaknya (yang tidak sah menurut hukum), paling tidak hanya dapat
diketahui oleh ibu anak zina itu. [12]
Persoalan bank sperma dalam hukum Islam adalah
bagaimana hukum onani dalam kaitan dengan pelaksanaan pengumpulan sperma di bank
sperma dan inseminasi buatan. Secara umum Islam memandang melakukan onani
merupakan tergolong perbuatan yang tidak etis. Mengenai masalah hukum onani
fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang
mengharamkan pada suatu hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal
tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa
Malikiyah, Syafi`iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa Allah swt. memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan
kecuali kepada isteri dan budak yang dimilikinya. Sebagaimana dalam Q.S al-Mu'minun
ayat 5-7.
Hanabilah berpendapat bahwa onani memang
haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi wajib, kaidah usul
:
اِرْتِكَابُ
اَخَفُّ الضَّرُرَيْنِ وَاجِبٌ
“Mengambil yang lebih ringan dari suatu
kemudharatan adalah wajib”
Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu
maka onani hukumnya haram. Ibnu Hazim berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak
berdosa tetapi tidak etis. Ali Ahmad Al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat
Al-Tasyri` Wa Falsafatuhu, telah menjelaskan kemadharatan onani
mengharamkan perbuatan ini, kecuali kalau karena kuatnya syahwat dan tidak
sampai menimbulkan zina. Agaknya Yusuf Al-Qardhawy juga sependapat dengan
Hanabilah mengenai hal ini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibnu Muhammad
Al-Husainy juga mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteri atau
ammahnya karena itu memang tempat kesenangannya:
لَوِاسْتَمْنَى
الرَّجُلُ بِيَدِ امْرَأَتِهِ جَازَ لِأَنَّهَامَحَلُ اسْتِمْتَاعِهِ
“Seorang laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan isteri atau
hamba sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat kesenangannya.”
Tahap kedua setelah bank sperma berhasil mengumpulkan sperma dari
beberapa pendonor maka bank sperma akan menjualnya kepada pembeli dengan harga
tergantung kualitas spermanya, setelah itu agar pembeli sperma dapat mempunyai
anak maka harus melalui proses yang dinamakan inseminasi buatan yang telah dijelaskan
di atas. Hukum dan pendapat inseminasi buatan menurut pendapat ulama` apabila
sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri kemudian disuntikkan ke
dalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami isteri yang
bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh
anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak berhasil
memperoleh anak, maka hukumnya boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqh :
اَلْحَاجَةُ
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةِ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu)
diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency), dan keadaan
darurat/terpaksa itu membolehkan melakukkan hal-hal yang terlarang.”
Selain kasus sperma dari suami ditanam pada rahim isteri, demi kehati-hatian maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma dari orang
lain ditanam pada rahim isteri. Diantara yang mengharamkan adalah Lembaga fiqih
Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy,
al-Ribashy dan Zakaria Ahmad al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya
percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Hal ini sesuai
dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau
inseminasi buatan.
Dengan demikian, hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika
bertujuan untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma suaminya
di bank tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang dapat
menghalangi kesuburan, isteri masih bisa hamil dengan cara inseminasi yang halal.
Adapun jika tujuan pendirian bank sperma adalah untuk mendonorkan sperma kepada
wanita yang bukan isterinya maka pendirian bank sperma adalah haram, karena hal
yang mendukung terhadap terjadinya haram maka hukumnya haram.[13]
C. Dampak Adanya
Bank ASI dan Bank Sperma
a.
Bank ASI
Pada awalnya, penulis berpendapat bahwa
mendirikan bank ASI hukumnya boleh dengan syarat-syarat yg sangat ketat,
ternyata pendapat tersebut sudah disampaikan oleh beberapa ulama di Timur Tengah
yang terangkum dalam pendapat ketiga. Namun demikian, setelah memperhatikan
dampak-dampak yang akan muncul dengan berdirinya bank ASI di Negara-negara
Islam, maka akhirnya penulis cenderung untuk mengatakan sebaiknya tidak usah
didirikan bank ASI selama hal tersebut tidak darurat. Diantara mudharat-mudharat
(dampak-dampak) yang akan ditimbulkan dari pendirian bank ASI adalah[14] :
1.
Terjadinya pencampuran nasab, jika distribusi ASI
tersebut tidak diatur ini secara ketat
2.
Pendirian bank ASI memerlukan biaya yg sangat
besar, terlalu berat ditanggung oleh Negara-negara berkembang seperrti
Indonesia
3.
ASI yang dismpan dalam bank, berpotensi untuk
terkena virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kwalitas ASI bisa menurun drastis,
sehingga kelebihan-kelebihan yang dimiliki ASI yang disimpan ini semakin
berkurang, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya
4.
Dikhawatirkan ibu-ibu yang berada dalam taraf
kemiskinan, ketika melihat peluang penjualan ASI kepada bank dengan harga tinggi,
mereka akan berlomba-lomba untuk menjual ASInya dan sebagai gantinya merea
memberikan susu formula untuk anak-anak mereka
5.
Ibu-ibu yang sibuk beraktivitas dan
mempunyaikelebihan harta, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka , karena
bisa membeli ASI dari bank dengan harga berapapun.
b.
Bank Sperma
Jika dikaitkan dengan perwalian dalam
perkawinan bagi anak wanita dan warisan (anak pria dan wanita), maka statusnya
sama saja dengan anak zina, yaitu harus dengan wali hakim dan anak itu hanya
waris mewarisi dengan ibunya saja. Jadi, pemanfa’atan sperma dari Bank Sperma,
haram hukumnya dalam pandangan Islam.[15]
Kemudian ada satu permasalahan lagi yang
memerlukan pemecahan, yaitu sperma seorang suami yang disimpan pada Bank Sperma
dan sesudah suaminya meninggal, isterinya ingin mempunyai anak lagi. Sperma
(cadangan) itu disuntikkan ke dalam rahim wanita itu. Kalau kita lihat
sepintas, tidak ada terjadi pelanggaran hukum, karena sperma itu berasal dari
suaminya sendiri yang sah. Namun dalam masakalah in, penulis lebih cenderung
berpendapat bahwa pemanfa’atan sperma itu untuk tidak dilakukan, karena akan
berdampak mengundang fitnah bagi wanita tersebut, umpamnya dengan tuduhan
berbuat serong dengan pria lain, karena sepengetahuan masyarakat, si wanita itu
sudah berstatus janda. Demikian juga, akan membuka peluang atau dijadikan
alasan oleh janda-janda yang hamil dengan dalih memanfa’atkan sperma suaminya
yang suda meninggal, yang disimpan pada Bank Sperma. Alasan ini sejalan dengan
kaidah hukum Islam: سد الدريعة , mengadakan tindakan
preventif, sehingga tidak menimbulkan fitnah. [16]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan
penyaluran ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang
tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Sedangkan Bank sperma yaitu
pengambilan sperma dari donor sperma lalu dibekukan dan disimpan ke dalam
larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma
2.
Mengenai tentang hukum diadakannya bank ASI ada
dua pendapat, yaitu sebagian ulama mengharamkan dan sebagian lainnya
membolehkan. Diantara ulama yang mengharamkan yaitu mayoritas ulama dengan
dalih bahwa mereka memaknai menyusui yang berdampak pada kemahraman yaitu
setiap yang masuk pada perut bayi baik dengan cara lansung atau melalui
perantara. Sedangkan ulama yang membolehkan diantaranya yang paling terkenal,
Syaikh Al-Qaradhawi, beliau mengutip perkataan Ibnu Hazm yaitu sifat susuan
yang mengharamkan adalah apabila bayi menyusui dari putting susu ibu yang
menyusuinya secara langsung.
3.
Setelah memperhatikan dampak-dampak yang akan
muncul dengan berdirinya bank ASI di Negara-negara Islam, maka akhirnya penulis
cenderung untuk mengatakan sebaiknya tidak usah didirikan bank ASI selama hal
tersebut tidak darurat karena banyak mudharatnya dari pendirian bank ASI
tersebut.
Adapun
hukum pendirian bank sperma tergantung dari dua hal, yaitu cara pengambilan
sperma dari donor dan proses inseminasi. Pengambilan sperma dilakukan melalui
masturbasi dan para ulama beda pendapat dalam menanggapi masturbasi ada yang
membolehkan dan ada yang mengharamkan. Sedang masalah inseminasi, jika
inseminasi yang halal (sperma suami diinseminasikan kepada rahim isteri) maka
hukumnya boleh, sedangkan jika inseminasi yang haram maka hukumnya haram
B. Saran
Menghadapi era globalisasi yang penuh dengan
berbagai teknologi canggih, maka kita hendaknya juga semakin cermat dalam
mengaplikasikannya. Dalam hal ini penulis berharap dapat menambah pengetahuan
pembaca mengenai berbagai macam masalah fiqh kontemporer dan pandangan Islam
mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M.Ali. 1996. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada
Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Rida, Muhyiddin Mas. 2009. Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Jakarta
Timur : Pustaka Al-Kautsar
Supardan. 1991. Ilmu, Teknologi dan Etika. Jakarta : PT BPK
Gunung Mulia.
Yuliasman,
Chandra. Fiqh Kotemporer inseminasi
cloning. Diunduh pada hari Minggu tanggal 08 November 2015 Pukul 20.00 WIB.
Alamat web : http://chandrayuliasman.blogspot.co.id
Diunduh pada hari Senin tanggal 26 Oktober 2015 Pukul 13.00 WIB.
Alamat web : http://jawharie.blogspot.co.id



0 komentar:
Posting Komentar