UTS PSIKOLOGI
AGAMA
Nama :
Wiwin Layyin Awwaliyah
NPM :
13.03.2944
Prodi :
PAI V C
Materi : Perkembangan Jiwa Keagamaan
kepada Anak & Remaja
بسم اللّه الرّحمن الرّحيم
Tugas deskripsi diri ini saya akan mengambil
dari tema point keempat yang ada di RPPS Mata kuliah Psikologi Agama yaitu Perkembangan Jiwa Keagamaan kepada
Anak dan Remaja, yang terdiri dari beberapa sub tema diantaranya yaitu: teori
tentang sumber kejiwaan agama, timbulnya jiwa keagamaan pada anak, perkembangan
agama pada anak-anak, sifat-sifat agama pada anak-anak, perkembangan jiwa
keagamaan pada remaja, dan konflik dan keraguan.
Saya
bernama Wiwin Layyin Awwaliyah merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Saya
hidup dari keluarga yang berlatarbelakang pesantren terutama ayah saya yang
keluaran pesantren, apalagi kakek saya yang merupaan seorang sesepuh masjid
jami di kampung saya dan sekarang dilanjutkan oleh ayah saya. Saya tinggal di
kampung Pasirpeuteuy Desa Pawindan Kecamatan/Kabupaten Ciamis. Alhamdulillah
meskipun berada di kampung tapi berpenduduk mayoritas muslim dan lebih spesifik
lagi masyaraat NU.
Ketika saya masih kanak-kanak saya
sering mengikuti orang tua saya melaksanakan sholat berjamaah di masjid karena
posisi rumah saya sangat dekat dengan masjid bahkan dihimpit oleh masjid dan
madrasah diniyah. Meskipun saat itu saya hanya duduk mendengarkan dan kadang
sesekali saya mengikut-ikut gerakan orangtua saya melakukan shalat
dengan sekedarnya seperti apa yang saya lihat tanpa mengetahui bacaan apa yang
dibacanya. Selain ikut shalat berjamaah, juga kebiasaan mendengarkan
wirid orang tua saya setelah shalat yang membuat saya terbiasa dengan
bacaan-bacaan itu dan hafal dengan bacaan wirid tersebut yaitu diantaranya
bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahli. Keadaan yang saya alami tersebut
sesuai dengan salah satu teori tentang sumber kejiwaan keagamaan
yaitu menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan sekedar meniru dan
melakukan apa yang dilakukan orang tua saya.
Karena
rumah saya dekat dengan masjid, dan masjid depan rumas saya itu merupakan tempat
dimana anak-anak dari mulai anak kecil sampai anak remaja yang ada di kampung
saya pergi untuk mengaji ke sana, maka alhamdulillah dari kecil saya sudah rutin
berangakt ke masjid dan dikenalkan dengan bacaan Al-Qur’an dengan tajwid yang
benar yang dimulai dari bacaan iqro. Selain itu juga di masjib tersebut saya
dan teman-teman sudah diajarkan bagaimana gerakan dan bacaan shalat yang benar.
Kebetulan saat itu, ayah saya sedang mengkaji kitab kuning masalah Tauhid
kepada anak-anak remaja di madrasah, dan saya turut mendengarkan karena saat
itu saya ikut dengan ayah ke madrasah. Saat itu saya mulai mengenal Tuhan
meskipun hanya mengetahui saja tanpa memahaminya.
Pada usia sekitar 4 tahun saya didaftarkan
masuk TPQ (Taman pendidikan Qur’an) yang berada di kampung sebelah lumayan jauh
dari rumah aya, tapi tidaklah menjadi penghalang untuk menuntut ilmu sehingga
setiap hari saya diantar jemput oleh ayah saya. Di TPA ini saya banyak mendapat
pengetahuan ilmu agama selain di masjid. Ketika saya umur 5 tahun saya sudah
ikut wisuda meskipun waktu itu hanya saya wisudawati TPA yang berada dibawah
umur SD karena ketika masuk saya sudah memiliki bekal sehingga saya tidak
merasa tertinggal oleh kakak-kakak saya yang umurnya pun berbeda jauh. Tidak
hanya sampai di TPA, saya melanjutkan belajar di kelas Pasca-TPA. Namun hal itu
hanya berlangsung selama satu tahun. Hal itu karena setelah lulus SD, orangtua
saya mengirimkan saya untuk melanjutkan belajar di pondok pesantren.
Alhamdulillah selama usia SD waktu saya cukup padat dengan memperdalam agama
yaitu sepulangnya dari SD ba’da dzuhur saya ikut sekolah agama di madrasah
diniyah tepatnya di belakang rumah saya, sorenya saya pergi ke TPQ tersebut dan
malamnya mengaji di masjid.
Masa
Remaja di pesantren saya alami dengan baik meski ada beberapa permasalahan. Saya
di masukkan ke salah satu pesantren modern yang ada di Banjar khusus untuk
putri tepatnya di Pondok Pesantren Modern DAARUL HUDA Balokang-Banjar.
Keunggulan di pesantren ini adalah lebih kepada Bahasa asing yaitu Bahasa Arab
dan Inggris bahkan tahun ini 2015 sudah ditambah dengan Bahasa Mandarin. Setiap
hari kita harus berbicara dua Bahasa itu, jika tidak kita mendapat ta’zir.
Selain itu, di pesantren diajarkan bagaimana cara shalat dengan khusuk, namun
sampai saat ini saya merasa sulit untuk melakukan shalat secara khusuk. Saya
banyak belajar mandiri saat berada di pesantren. Sosialisasi kepada teman-teman
baru juga saya lakukan apalagi di tempat itu tidak ada orang yang saya kenal
sebelumnya.
Karena
di pesantren saya menggunakan dualism pendidikan yaitu pendidikan umum dan
pendidikan agam dan tempatnya pun masih satiu kompleks, maka pelajaranpun
digabungkan antara pelajaran umum dan pelajaran kepesantrenan dalam satu hari
tersebut, seperti ilmu tauhid, akhlak, al-qur’an, tafsir, hadits dan masih
banyak lagi terutama ilmu kebahasaan seperti nahwu, shorof, grammer dan
lain-lain. Sebelum masuk ke kelas, kita diwajibkan untuk bermuhadatsah dengan
menggunakan Bahasa asing agar kita lebih terbiasa dengan berbicara Bahasa
asing. Ketika waktu istirahat sekitar pukul 09.30, kami melaksanakan shalat
dhuha secara berjamaah. Shalat dhuha tersebut diwajibkan bagi santri yang dimaksudkan
agar para santri terbiasa melaksanakan shalat dhuha. Selain itu shalat fardhu
lima waktu juga diwajibkan untuk berjamaah dan jamaah harus pada kloter
pertama. Jika kita tidak mengikuti shalat berjamaah maka kami akan mendapatkan
ta’zir.
Libur
umum sekolah dan pesntren adalah hari jum’at oleh karena itu setiap hari jum’at
diadakan jariyu shobah jama’I (lari pagi bersama-sama) dan dilanjutkan
dengan bersih-bersih pondok secara massal. Pada hari jum’at ini, kami diberikan
kesempatan untuk meminta izin keluar pondok baik itu untuk pergi ke pasar atau
pulang kerumah dengan batas waktu tertentu yang telah disepakati dengan bagian
pengasuhan.
Setelah
enam tahun saya menyelesaikan pendidikan di pesantren, dari mulali SMP sampai
MA. Ketika kembali ke rumah ternyata teman-teman sepermainan saya
dulu ketika kecil sekarang sudah mempunyai pacar masing-masing dan saya
mempunyai komitmen untuk tidak berpacaran. Namun karena rasa penasaran yang
besar pada diri saya, ketika itu saya terjerumus untuk mengikuti seperti mereka
yaitu dengan memiliki pacar. karena saya melihat dengan berpacaran ada yang
memperhatikan kita. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, Karena menurut islam
sendiri tidak ada istilah pacaran dan pacaran mendekatkan diri kepada perbuatan
maksiat. Hal itu saya rasakan sendiri ketika mempunyai pacar, setiap waktu
bahkan setiap detik bukannya mengingat Tuhan atau kematian tetapi yang diingat
adalah pacar kita. Dan bahkan saya merasa ketika itu bawaannya tidak tenang
bahkan lebih sering berbuat bohong pada diri sendiri dan orang tua saya. Hal
inilah yang menjadi konflik dalam keberagamaan saya ketika masa remaja dan
akhirnya timbul kesadaran pada diri saya bahwa agama sebagai identitas diri .
Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa
saya mengalami perkembangan rasa agama mulai dari usia anak sampai remaja
secara kontinu, berkesinambungan dan konsisten. Karakter rasa agama atau peran
orang tua sangat berpengaruh terhadap kepemilikan rasa agama anak. Perkembangan
religiusitas remaja dipengaruhi oleh karakter rasa agama remaja yaitu
konvensional, maknawi, reflektif, agama versus kelompok sosial dan
religious doubt. Pada masa pengembangan religius remaja maka timbul kesadaran
diri agama sebagai identitas diri



0 komentar:
Posting Komentar